Skip to main content

Edu Series: Tax & Accounting Education in 4.0 Era

 

Picture : KUMBA MMUI

Era Industri 4.0 dan Disrupsi telah mengubah segalanya, wabil khusus si virus corona juga lah yang membuat segalanya bertransformasi menjadi era serba digital dan era serba disrupsi, yang memang sudah mulai terjadi sebelum pandemi datang ke ke seluruh dunia. Khususnya juga dunia pendidikan, di era disrupsi ini dunia pendidikan berbagai tingkat, mulai dari tingkatan terendah sampai ke higher Education perlu berubah, perlu bertransformasi agar dapat menghasilkan sdm-sdm unggulan generasi penerus bangsa. Mengingat saat ini industri itu membutuhkan kandidat yang bisa bekerja, bukanlah kandidat yang bisa menulis karya ilmiah ataupun melakukan penelitian.


Pada kesempatan kali ini kami akan membahas perubahan yang diperlukan dalam sistem pendidikan tinggi untuk akuntansi dan perpajakan (Accounting & Taxation Higher Education) di Indonesia


Pertama, Reformasi Struktur Kurikulum

Hal ini sebenarnya tidaklah hanya berlaku untuk bidang studi Perpajakan saja, tapi saya rasa seluruh bidang studi di perguruan tinggi. Kalau kita melihat struktur kurikulum program Sarjana, itu rata-rata minimal mahasiswa harus memenuhi 144 sks, dan di situ terdapat banyak sekali mata kuliah- mata kuliah yang sebenarnya perlu dilakukan perampingan dan perlu ditekankan kepada kemampuan konseptual dan teknis bidang studi terkait, dalam hal ini penekanan terhadap konseptual dan teknis perpajakan. Haruslah dihapus mata kuliah mata kuliah yang memang tidak diperlukan dalam dunia industri dan tumpang tindih satu dengan mata kuliah yang lain. Hal ini sangat diperlukan agar lulusan perguruan tinggi itu dapat terserap dalam dunia industri dan berkontribusi untuk mencapai Indonesia Maju.


Menurut kami untuk studi Sarjana bidang Perpajakan, itu sebenarnya jumlah mata kuliah itu mungkin maksimal 14 sudah lebih dari cukup.


Kedua, Persingkat Masa Studi

Dengan zaman serba digital ini saya yakin dengan melakukan reformasi struktur kurikulum, maka sangatlah memungkinkan agar waktu studi itu dipangkas semaksimal mungkin. Karena dunia industri, tidaklah membutuhkan lulusan perguruan tinggi yang memiliki masa studi yang banyak, melainkan kemampuan & skill nyatanya lah yang diperlukan. Saat ini dunia industri tidak lagi melihat apa saja yang kamu pelajari di universitas, melainkan apa yang kamu bisa lakukan. Kalau kita melihat, negara-negara di luar Indonesia, itu banyak yang menyelenggarakan program Bachelor dengan masa studi yang hanya 3 tahun dan bahkan banyak yang hanya cukup dengan 2 tahun saja, hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia, yang mana rata-rata program Sarjana ditempuh dalam waktu 4 tahun. 


Ketiga, Full Online/Remote Courses

Nah hal ini sebenarnya sudah mulai dibiasakan di Indonesia sejak pandemi melanda. Akan tetapi, memang dalam kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam efektifikasi pelaksanaannya. Namun kedepannya Indonesia harus berubah, dunia akan memaksa semua serba digital/online. Oleh karena itu haruslah mulai dibiasakan sejak dini untuk dapat terorientasi dengan online/remote learning. Hal ini sebenarnya sudah banyak sekali diterapkan dan berjalan dengan sangat baik, dan sudah berjalan lumayan lama di luar negeri, di mana tidak ada lagi offline class, melainkan semua kegiatan belajar mengajar dilakukan secara online, dan peserta serta pengajarnya dapat melakukannya dari rumah masing-masing ataupun sambil berlibur di kepulauan tropis. Full Online/Remote system juga sudah mulai banyak diterapkan oleh industri, sudah banyak dunia usaha yang menawarkan posisi pekerjaan baik dari level terendah sampai dengan executive/C-Level untuk bekerja secara remote, dari mana saja, dan bisa digaji sampai ratusan ribu USD atau miliaran Rupiah. Oleh karena itu, dunia pendidikan tinggi pun harus berorientasi ke arah sana.


Keempat, Assessment system

Yang berikutnya adalah sistem penilaian. Kebanyakan sistem penilaian perkuliahan di Indonesia, antara lain mempertimbangkan nilai tugas, quiz, Exam, dll. Menurut kami, di dunia serba digital sekarang, sudah saatnya untuk penilaian itu berbasis exam saja yang berbasis HOTS, case based, and practical based, sehingga lebih sesuai dengan dunia nyata, yakni dunia industri.


Kelima, Paper, Article, Skripsi masih perlu ?

Nah ketiga hal ini yang kami rasa sudah saatnya dikritisi. Pertama-tama, mari kita lihat apa yang dibutuhkan Industri, Apakah industri membutuhkan kandidat yang bisa menulis, atau melakukan penelitian, atau jago menulis artikel ilmiah. Jawabannya adalah sama sekali tidak. Yang Industri butuhkan adalah kandidat yang paham konseptual dan teknik pekerjaan, serta mampu/capable untuk menjalankan pekerjaan sehari-hari. Karena lulusan perguruan tinggi di industri itu, mereke pekerjaanya bukanlah menulis paper atau membuat karya tulis, melainkan melakukan pekerjaan-pekerjaan nyata, kalau di bidang Pajak, antara lain mengisi SPT, melakukan perencanaan (bukan untuk entry level), melakukan monitoring, dan sebagainya. Oleh karena itu, kami meyakini bahwa sudah saatnya skripsi dihapuskan, demi membentuk generasi yang terampil, sdm yang unggul, dan mencapai Indonesia maju.


Terakhir, Professional Qualification

Saya meyakini bahwa yang satu ini akan menjadi saingan dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Di beberapa negara luar negeri, seperti Inggris, kini dunia industri mereka sudah banyak yang tidak lagi mensyaratkan degree sebagai syarat untuk menerima pegawai. Namun mereka hanya mensyaratkan kualifikasi profesional, mereka membutuhkan kandidat yang qualified, misalkan dalam bidang akuntansi, ada ACCA, CIMA, dan dalam Pajak ada ATT, CTA, dan sebagainya. Oleh karena itu, di luar negeri sana, para lulusan sekolah atas (high school), mereka akan mengambil program professional qualification daripada pergi ke universitas. 

Jika kita lihat, rata-rata untuk menjadi fully qualified, di professional body di atas, itu peserta hanya perlu mengambil sedikit subject saja, rata2 hanya 10-12 subject, setelah itu mereka mengikuti exam, sebagian langsung menjadi fully qualified, dan ada beberapa professional body, yang mensyaratkan adanya PER (practical experience requirement) untuk menjadi fully qualified. Adapun bagi kandidat yang memiliki degree, terhadap mereka tetap disyarakatkan untuk memegang professional qualification untuk dapat bekerja. Hal ini menunjukkan, seakan-akan ijazah perguruan tinggi itu sudah tidak ada harganya.


Saya meyakini, cepat atau lambat Indonesia pun akan berada dalam dunia tersebut, di mana industri di Indonesia hanya akan mensyaratkan professional qualification saja, dan tidak lagi mensyaratkan degree dari perguruan tinggi, untuk menerima pegawai.


Dengan demikian, perguruan tinggi haruslah cepat berubah bila ingin tetap berkontribusi dalam pembangunan bangsa.


Semoga perguruan tinggi Indonesia akan berubah, sehingga dapat menghasilkan SDM Indonesia yang semakin unggul, dan berkontribusi untuk mencapai Indonesia Maju.


Sobat ITH, beberapa artikel terkait perubahan yang diperlukan oleh perguruan tinggi, dapat sobat lihat di sini

*LHU


Disclaimer:

  • Tulisan ini hanya bersifat opini, tanpa merendahkan atau mencemari pihak manapun.
  • Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud dan mengandung kritik terhadap pihak manapun.
  • Tulisan ini hanya bertujuan agar bersama-sama kita dapat berkontribusi demi mencapai Indonesia Maju.



Comments

Popular posts from this blog

Edu Series: Membangun Citra & Reputasi Universitas yang Baik

                              Dalam dunia bisnis, branding atau merk akan membuat pelanggan untuk memilih suatu produk. Walaupun mungkin kualitas produk yang satu tidak jauh beda dengan yang lain, tapi produk yang hadir dengan top/high brand maka akan mendominasi pasar. Sejalan dengan itu, pada universitas tingkat dunia pun, calon pelajar lebih memilih universitas dengan image high brand dibandingkan dengan yang kelasnya lebih rendah (lower brand), walupun lagi-lagi program dan course yang ditawarkan adalah sama saja. Sebagai contoh, branding "London Business School" misalnya, mereka dapat menerapkan tuition fees yang lima kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan perguruan lain, walaupun mereka memiliki kurikulum yang serupa. Pada universitas di eropa misalnya, dapat teruji secara statistik (dalam suatu penelitian), dimana tingkat daya tarik tenaga pengajar yang reputable dapat diketahui dari usia institusi tersebut dan style dari gedung kampus tersebut. Perbedaan signifik

Perlukah Ikut Tax Amnesty Jilid II ?

  Perlukah ikut Tax Amnesty Jilid II ? Pemerintah telah menerbitkan kebijakan program pengungkapan sukarela (PPS) a.k.a. Tax Amnesty Jilid II. Pemerintah mengatur kebijakan ini melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP ini juga telah merubah berbagai ketentuan formil dan materiil dalam peraturan perundang-undangan Perpajakan, mulai dari UU KUP sampai ke UU Cukai, dan salah satunya adalah kebijakan program pengungkapan sukarela (PPS) ini. Program Tax Amnesty Jilid II ini diluncurkan negara sebagai bentuk meningkatkan voluntary compliance dari WP serta tentunya meningkatkan penerimaan negara. Dimana dapat kita lihat bahwa Indonesia selalu mengalami Defisit APBN dan penopang utama APBN kita adalah penerimaan Perpajakan. Program Tax Amnesty jilid II ini terdiri dari dua kebijakan, yakni Kebijakan I dan Kebijakan II. Kebijakan I diperuntukkan untuk Wajib Pajak yang telah mengikuti program Tax Amnesty Jilid I, namun memiliki harta yang

Perlukah WP yang mendapat SP2DK dan melakukan pembetulan SPT ikut PPS ?

  Halo sobat ITH, kembali lagi di Seri PPS episode ke dua. Seperti telah kami sampaikan di episode pertama, bahwa kali ini penulis akan membahas tentang apakah Wajib Pajak yang mendapat SP2DK dari Kantor Pajak kemudian melakukan pembetulan SPT perlu mengikuti PPS ? Pertama-tama mari kita lihat Pasal 10 ayat (4) UU HPP: Pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O yang disampaikan setelah Undang-Undang ini diundangkan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta, dianggap tidak disampaikan. Ya, dianggap tidak disampaikan. Cukup mengerikan bukan ? Jika kita lihat lagi, apa saja sih penyebab wajib Pajak Orang Pribadi mendapatkan 'surat cinta' dari kantor Pajak. Sangat banyak sekali dan beragam, antara lain, terdapat bukti potong yang kurang dilaporkan, kemudian adanya data AEoI, yakni pertukaran