Halo sobat ITH, kembali lagi di Seri PPS episode ke dua. Seperti telah kami sampaikan di episode pertama, bahwa kali ini penulis akan membahas tentang apakah Wajib Pajak yang mendapat SP2DK dari Kantor Pajak kemudian melakukan pembetulan SPT perlu mengikuti PPS ?
Pertama-tama mari kita lihat Pasal 10 ayat (4) UU HPP:
Pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O yang disampaikan setelah Undang-Undang ini diundangkan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta, dianggap tidak disampaikan.
Ya, dianggap tidak disampaikan. Cukup mengerikan bukan ?
Jika kita lihat lagi, apa saja sih penyebab wajib Pajak Orang Pribadi mendapatkan 'surat cinta' dari kantor Pajak. Sangat banyak sekali dan beragam, antara lain, terdapat bukti potong yang kurang dilaporkan, kemudian adanya data AEoI, yakni pertukaran data perbankan bagi Nasabah/WP yang memiliki saldo akhir setiap tahunnya di atas Rp. 1 Milyar Rupiah, kemudian ditemukan adanya data kepemilikan kendaraan bermotor dari Samsat yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak, bisa juga data kepemilikan tanah dan atau bangunan, yang berasal dari data BPN, ataupun juga data kepemilikan saham perusahaan, yakni bagi perusahaan tertutup datanya diperoleh kantor Pajak dari sistem OSS dan sejenisnya.
Dalam pengalaman kami, kami menemukan bahwa mayoritas SP2DK bagi Orang Pribadi diselesaikan dengan melakukan pembetulan SPT Tahunan, dan sering kali disertai dengan tambahan setoran PPh Kurang Bayar. Ataupun jika WP tidak beserta melakukan pembetulan SPT atau bahkan tidak kooperarif, yakni dengan tidak memenuhi pemberian data/ keterangan atau klarifikasi sebagaimana diminta dalam SP2DK dalam batas waktu tertentu, maka Account Representative (AR) WP dapat melakukan proses usulan untuk dapat dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Sehingga sebenarnya, SP2DK ini dapat juga disebut 'semi- Tax Audit'. Oleh karena itu Wajib Pajak perlu menanggapi hal ini sebagai hal serius, dan melakukan klarifikasi, serta bersedia untuk melakukan pembetulan SPT agar tidak dilakukan pemeriksaan Pajak. Trend pembetulan SPT semakin meningkat, mengingat trend penerbitan SP2DK yang semakin meningkat juga, khususnya di penghujung Tahun 2021 kemarin. Nah bagaimana dengan Wajib Pajak OP yang melakukan pembetulan SPT setelah diundangkannya UU HPP (29 Oktober 2021) dan ingin melakukan pengungkapan harta (ikut program PPS) ?
Mara kita coba satu perumpamaan.
Tn. Donny mendapat SP2DK pada 1 Nov 2021 ditemukan bahwa terdapat selisih saldo rekening tabungan yang dilaporkan pada SPT Tahunan PPh OP 2020 yakni Rp. 1,2 Milyar dengan saldo rekening yang diperoleh AR dari data AEoI, dimana saldo tabungan Tn. Donny pada 31 Des 2020 adalah Rp. 2,1 Milyar (Selisih Rp. 900 Juta). Tn. Donny kemudian datang menghadap AR beliau, dan menyatakan bahwaaa ia menyadari kekeliruannya yang disebabkan karena typo (1,2 dan 2,1), dan beliau bersedia untuk melakukan pembetulan SPT, setelah dilakukan analisis kenaikkan/penurunan harta, ditemukan bahwa terdapat penghasilan senilai Rp. 900 juta yang perlu dilaporkan, sehingga Tn. Donny membayar PPh Terutang yakni Rp. 270 Juta (Tarif Pasal 17 UU PPh, 30% x Rp. 900 Juta), dan beliau menyampaikan SPT pembetulannya itu di tanggal 30 November 2021. Kemudian di awal tahun 2022 ini beliau menyadari, bahwa terdapat harta berupa asuransi Unit link yang ia peroleh sejak tahun 2017 dan belum ia laporkan dalam SPT Tahunan mulai dari Tahun Pajak 2017 sd. Tahun Pajak 2020. Saldo investtasi unit link tersebut di 31 Des 2020 adalah Rp. 1,6 Milyar.
Saat ini Tn. Donny diberikan dua opsi, antara melakukan pembetulan ke-II, SPT Tahunan PPh Badan 2020 atau mengikuti program PPS. Manakah yang paling baik ?
Kalau kita lihat dari sisi biaya yang dikeluarkan saat ini juga, tentu opsi mengikuti PPS jauh lebih hemat, yakni tarif nya hanya sebesar 14% dibandingkan dengan tarif PPh umum yakni 30%. Namun jika kita melihat ketentuan Pasal 10 (4) UU HPP tadi di atas, jika Tn. Donny mengikuti PPS, maka pembetulan - I SPT Tahunan 2020 yang telah ia sampaikan pada 30 Nov 2021 dianggap tidak disampaikan. Dengan demikian, tentu jika kini Tn. Donny mengikuti PPS, some day, Fiscus dapat menerbitkan Ketetapan Pajak atas tambahan penghasilan atas selisih saldo rekening bank 31 Des 2020, yang semula telah Tn. Donny betulkan di SPT Pembetulan I nya, yakni sebesar 30% (Tarif Pasal 11 (2) UU HPP), maka di sini dapat kita lihat bahwa telah terjadi double Taxation atas penghasilan Tn. Donny tersebut. Oleh karena itu, penulis menyarankan Tn. Donny untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan saja, dan tidak mengikuti PPS.
Memang PPS memberikan garansi kepada pesertanya yakni tidak akan diterbitkan ketetapan Pajak mulai tahun Pajak 2016 - 2020, namun hal ini seakan-akan menjadi tidak berlaku bagi WP peserta PPS yang telah melakukan pembetulan SPT Tahunan setelah UU HPP diundangkan.
Oleh karena itu, ada baiknya kita untuk meminta advis dari praktisi perpajakan, untuk menilai relevansi mengikuti PPS bagi WP yang melakukan pembetulan. Ataupun jika memang kita mampu/capable untuk melakukan analisis, maka lakukanlah analisis sedalam dan seluas mungkin untuk memperhitungkan risiko-risiko Pajak yang dapat timbul dikemudian hari.
Terima kasih,
Salam sehat semua,
*LHU
Comments
Post a Comment