Skip to main content

Perlukah Ikut Tax Amnesty Jilid II ?

 

Perlukah ikut Tax Amnesty Jilid II ?


Pemerintah telah menerbitkan kebijakan program pengungkapan sukarela (PPS) a.k.a. Tax Amnesty Jilid II. Pemerintah mengatur kebijakan ini melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP ini juga telah merubah berbagai ketentuan formil dan materiil dalam peraturan perundang-undangan Perpajakan, mulai dari UU KUP sampai ke UU Cukai, dan salah satunya adalah kebijakan program pengungkapan sukarela (PPS) ini.


Program Tax Amnesty Jilid II ini diluncurkan negara sebagai bentuk meningkatkan voluntary compliance dari WP serta tentunya meningkatkan penerimaan negara. Dimana dapat kita lihat bahwa Indonesia selalu mengalami Defisit APBN dan penopang utama APBN kita adalah penerimaan Perpajakan.


Program Tax Amnesty jilid II ini terdiri dari dua kebijakan, yakni Kebijakan I dan Kebijakan II. Kebijakan I diperuntukkan untuk Wajib Pajak yang telah mengikuti program Tax Amnesty Jilid I, namun memiliki harta yang masih kurang atau belum dilaporkan per 31 Desember 2015, baik harta tersebut berada di wilayah Indonesia maupun berada di luar wilayah Indonesia. Tarif PPS kebijakan I ini beragam berdasarkan ketentuan tertentu yakni, berkisar mulai dari 6% - 11% dari nilai harta bersih. Penulis berpendapat bahwa PPS Kebijakan I ini kuranglah bermanfaat untuk diikuti oleh Wajib Pajak, dikarenakan beberapa hal. Pertama, Tahun Pajak 2015 kebelakang telah melewati daluarsa penetapan Pajak (Pasal 13 UU KUP), serta WP calon peserta PPS Kebijakan I adalah merupakan WP yang telah mengikuti Tax Amnesty Jilid I, yang mana tidak akan dilakukan pemeriksaan dan penetapan pajak sampai dengan tahun 2015. 

Berikutnya, sebagai contoh, Tn. C, seorang Wajib Pajak yang telah mengikuti Tax Amnesty Jilid I, dilakukan pemeriksaan oleh KPP untuk tahun Pajak 2020. Kemudian ditemukan aset berupa Tanah seluas 1000m2 dengan NJOP 31 Des 2020 senilai Rp. 2 Milyar Rupiah, atas nama Wajib Pajak, yang diperoleh sejak Maret 2014, namun ternyata belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh OP 2020. Kemudian pertanyaannya, apakah Fiskus dapat melakukan koreksi fiskal atas aset tersebut sebagai tambahan penghasilan Tn. C ? Jawabannya, seharusnya fiskus tidak dapat melakukan koreksi fiskal tersebut, dikarenakan, Aset tersebut diperoleh oleh WP sejak tahun 2014, sehingga seharusnya merupakan tambahan penghasilan tahun Pajak 2014, dan telah melewati daluarsa penetapan Pajak, dengan demikian tidak dapat dilakukan koreksi oleh fiskus. Kemudian apabila fiscus menganggap ini sebagai tambahan nilai harta bersih sebagaimana terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b UU HPP, maka fiskus juga tidak dapat melakukan koreksi atas ini. Mengapa ? Dikarenakan Pasal 12 ayat (2) UU HPP hanya berlaku bagi Wajib Pajak yang mengikuti program PPS. Dengan demikian, maka terdapat chance bagi Wajib Pajak peserta TA jilid I, namun kurang atau belum melaporkan asetnya per 31 Desember 2015 untuk terhindar dari penetapan Pajak maupun sanksi dan bunga.


Kembali lagi ke pembahasan PPS, setelah membahas PPS Kebijakan I kini saatnya kita membahas PPS Kebijakan II. PPS Kebijakan II ini ditujukan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi untuk mengungkapkan harta yang masih dimilikinya per 31 Desember 2020, yang diperoleh dalam kurun waktu 1 Januari 2016 - 31 Desember 2020, dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh OP Tahun Pajak 2020. Tambahan harta yang diungkapkan ini, akan menjadi tambahan penghasilan yang dikenakan PPh Final, dengan kisaran tarif mulai dari 12% - 18%.


Mari kita lihat manfaatnya bagi Wajib Pajak. Yang pasti pemerintah menjamin bahwa tidak akan diterbitkan ketetapan Pajak atas kewajiban perpajakan untuk Tahun Pajak 2016 sd 2020, kecuali ditemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta yang diperoleh sejak 1 Jan 2016 s.d. 31 Des 2020 yang kurang atau belum diungkapkan oleh WP dalam SPPH.


Bermanfaat sekali bukan ? Kalau kita perhatikan, Wajib Pajak akan mendapatkan ketenangan selama mengungkapkan harta yang belum dilaporkannya secara jujur, dari ancaman dilakukan pemeriksaan oleh Fiskus. Kalau kita lihat dari sisi Tarif Pajak, juga dapat kita lihat bahwa tarif PPS ini jauh lebih rendah daripada lapisan tarif tertinggi PPh OP Pasal 17 yakni mencapai 35%.


Oleh karena itu mari ikut program pengungkapan sukarela !


Akan tetapi, dalam Pasal 10 ayat (4) UU HPP, Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh OP untuk Tahun Pajak 2016 s.d. 2020, setelah disahkannya UU HPP dan mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS), maka pembetulan tersebut dianggap tidak disampaikan. Nah bagaimana kita melihat hal ini ? Insya Allah akan kami bahas di episode berikutnya !


Terima kasih dan Salam Sehat,


*LHU

Comments

Popular posts from this blog

Tax Opinion: Digital Marketing, Kena Pajak ?

Apa itu Digital Marketing ? Digital Marketing merupakan kegiatan melakukan pemasaran berbasis digital, dan mengandalkan Information & Technology Apa saja itu digital marketing ? Di zaman serba modern ini, terutama sejak pandemi menyebar ke seluruh dunia, saat ini kita semua telah beralih ke IoT (Internet of Things), termasuk dalam hal pemasaran. Semakin hari semakin banyak cara-cara untuk menjangkau pelanggan lebih luas menggunakan pendekatan pemasaran berbasis digital (digital marketing), antara lain: Search Engine Optimization, Website, Social Media Marketing, Online Advertising, Email Marketing, Video Marketing, dan masih banyak lagi Pentingkah Digital Marketing ? Tentu saja penting. Era serba IoT dan pandemi ini telah benar2 membuat semua serba digital. Oleh karena itu sebagai pengusaha, kita harus selalu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, di mana kalau dahulu untuk beriklan, kita harus memasang billboard di pinggir jalan besar ataupun memasang iklan di surat kabar, kini...

Edu Series: Membangun Citra & Reputasi Universitas yang Baik

                              Dalam dunia bisnis, branding atau merk akan membuat pelanggan untuk memilih suatu produk. Walaupun mungkin kualitas produk yang satu tidak jauh beda dengan yang lain, tapi produk yang hadir dengan top/high brand maka akan mendominasi pasar. Sejalan dengan itu, pada universitas tingkat dunia pun, calon pelajar lebih memilih universitas dengan image high brand dibandingkan dengan yang kelasnya lebih rendah (lower brand), walupun lagi-lagi program dan course yang ditawarkan adalah sama saja. Sebagai contoh, branding "London Business School" misalnya, mereka dapat menerapkan tuition fees yang lima kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan perguruan lain, walaupun mereka memiliki kurikulum yang serupa. Pada universitas di eropa misalnya, dapat teruji secara statistik (dalam suatu penelitian), dimana tingkat daya tarik tenaga pengajar yang reputable dapat diketahui dari usia institusi te...

Consulting Series: Business Plan for Professional Services Business

                  Pernahkah kita mendengar Business Plan ? Saya yakin jawabannya pasti adalah pernah. Namun bagaimana dengan Business Plan terhadap bisnis jasa profesional, seperti konsultan dan akuntan. Mungkin terlihat tidak terlalu relevan, mengingat bisa jadi cost yang dikeluarkan tidaklah terlalu besar. Namun sebenarnya bisnis apapun tidak peduli seberapa besar biaya dan risikonya, perlu dilakukan persiapan yang sangat matang, antara lain dengan menyiapkan rencana bisnis. Secara konsep manajemen, rencana bisnis merupakan bagian dari Planning dalam POLC (Planning, Organizing, Leading, and Controlling), oleh karena itu Business Plan merupakan hal yang tidak bisa dihiraukan oleh siapa pun. Sebelum kita bahas lebih lanjut terkait business plan untuk bisnis jasa profesional, mari kita mengenal kembali pengertian dan konsep utama business plan. Apa itu Business Plan ? Business Plan merupakan dokumen tertulis yang memuat seluk beluk suatu bisni...